Entri Populer

Minggu, 05 Desember 2010

Pengertian Pendidikan Keluarga.
Dalam ayat 4 pasal 10 Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 2
Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan keluarga
merupakan bagian dari pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam
keluarga dan yang memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan
keterampilan.
Pendidikan keluarga termasuk pendidikan informal dan karena
pendidikan informal adalah proses pendidikan yang diperoleh seseorang dari
pengalaman sehari-hari dengan sadar ataupun tidak sadar ( Idris, 1986:58).
Fungsi Pendidikan Keluarga.
Tugas utama dari pendidikan keluarga ialah sebagai peletak dasar bagi
pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan. Adapun fungsi pendidikan
keluarga meliputi :
Pengalaman Pertama Masa Kanak-kanak
Lembaga pendidikan keluarga memberikan pengalaman pertama
yang merupakan faktor penting dalam perkembangan pribadi anak.
Pendidikan keluarga adalah yang pertama dan utama, pertama
maksudnya bahwa kehadiran anak di dunia disebabkan oleh kedua
orang tuanya, sedangkan utama maksudnya adalah bahwa orang tua
bertanggung jawab terhadap pendidikan anak. Hal itu memberikan
pengertian bahwa seorang anak dilahirkan dalam keadaan tidak
berdaya dan penuh ketergantungan orang lain. Orang tua adalah
xxiv
tempat menggantungkan diri bagi anak secara wajar, oleh karena itu
orang tua berkewajiban memberikan pendidikan pada anaknya dan
yang paling utama dimana hubungan orang tua dengan anaknya
bersifat alami dan kodrati (Hasbullah, 2001 : 39-40).
Menjamin Kehidupan Emosional.
Melalui pendidikan keluarga kehidupan emosional atau
kebutuhan akan kasih sayang dapat dipenuhi atau dapat berkembang
dengan baik, hal ini dikarenakan adanya hubungan darah antara
pendidik dengan anak didik, sebab orang tua hanya menghadapi
sedikit anak didik dan karena hubungan tadi didasarkan atas rasa cinta
kasih sayang murni. Kehidupan emisional ini merupakan salah satu
faktor yang terpenting didalam membentuk pribadi seseorang
(Hasbullah, 2001 : 41).
Menanamkan Dasar Pendidikan Moral.
Dalam pendidikan keluarga merupakan penanaman utama dasardasar
moral bagi anak, yang biasanya tercermin dalam sikap dan
perilaku orang tua sebagai teladan yang dapat dicontoh anak. Memang
biasanya tingkah laku, cara berbuat dan berbicara akan ditiru oleh
anak. Dengan teladan ini melahirkan gejala identifikasi positif yakni
penyamaan diri dengan seseorang yang ditiru dan hal ini penting
sekali dalam rangka pembentukan kepribadian (Hasbullah, 2001 : 42).
Memberikan Dasar Pendidikan Sosial.
xxv
Dalam pendidikan keluarga, perkembangan benih-benih
kesadaran sosial pada anak dapat dipupuk sedini mungkin, terutama
lewat kehidupan keluarga yang penuh rasa tolong-menolong, gotongroyong
secara kekeluargaan, menolong saudara atau tetangga yang
sakit, bersama-sama menjaga ketertiban, kedamaian, kebersihan dan
keserasian dalam segala hal (Hasbullah, 2001 : 43).
Peletakan Dasar-dasar Keagamaan.
Masa kanak-kanak masa yang paling baik untuk memupuk
dasar-dasar hidup beragama. Anak-anak seharusnya dibiasakan ikut
serta kemasjid bersama-sama untuk menjalankan ibadah,
mendengarkan ceramah keagamaan, kegiatan seperti ini besar
pengaruhnya terhadap kepribadian anak (Hasbullah, 2001 : 44).
Dasar Tanggung Jawab Orang Tua terhadap Pendidikan Anak.
Dasar-dasar tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan anaknya
meliputi:
Adanya motivasi atau dorongan cinta kasih yang menjiwai hubungan
orang tua dan anak. Kasih sayang orang tua yang ikhlas yang murni
akan mendorong sikap dan tindakan rela menerima tanggung jawab
untuk memberi pertolongan kepada anaknya (Hasbullah, 2001 : 44).
Pemberian motivasi kewajiban moral sebagai konsekuensi kedudukan
orang tua terhadap keturunannya. Adanya tangung jawab moral ini
meliputi nilai-nilai agama atau nilai-nilai spiritual. Menurut para ahli,
bahwa penanaman sikap beragama sangat baik pada masa anak-anak
xxvi
(usia 3 sampai 6 tahun) seorang anak memiliki pengalaman agama
yang asli dan mendalam serta mudah berakar dalam kepribadiannya.
Pada periode ini peranan orang tua dirasakan sangat penting melalui
pembiasaan misalnya orang tua sering mengajak anak-anaknya
ketempat ibadah sebagai penanaman dasar yang mengarahkan anak
pada pengabdian dan mampu menghargai kehadiran agama dalam
bentuk pengalaman dengan penuh ketaatan (Hasbullah, 2001 : 44).
Tanggung jawab sosial adalah bagian dari keluarga yang pada gilirannya
akan menjadi tanggung jawab masyarakat, bangsa dan negara.
Tanggung jawab sosial itu merupakan perwujudan kesadaran
tanggung jawab kekeluargaan yang dibina oleh darah dan keturunan.
Terjalinnya hubungan orang tua dengan anak adalah untuk melindungi
dan memberikan pertolongan kepada anak dalam membimbing
mereka agar pertumbuhan dan perkembangannya menjadi sempurna
sebagaimana yang diharapkan untuk mengambil sikap mandiri dan
mampu mengambil keputusan sendiri serta kehidupannya dalam
keadaan stabil (Hasbullah, 2001 : 45).
Memelihara dan membesarkan anak. Tanggung jawab ini merupakan
dorongan alami untuk dilaksanakan, karena anak memerlukan makan,
minum dan perawatan, agar ia dapat hidup secara berkelanjutan
disamping itu orang tua bertanggung jawab dalam menjamin
xxvii
kesehatan baik jasamani maupun rohaniah dari berbagai gangguan
penyakit atau bahaya lingkungan yang dapat membahayakan diri anak
(Hasbullah, 2001 : 45).
Memberikan pendidikan dengan berbagai ilmu pengetahuan dan
keterampilan yang berguna bagi kehidupan anak kelak, sehingga bila
ia dewasa akan mampu mandiri (Hasbullah, 2001 : 45).
Pola Pendidikan Anak dalam Keluarga
Pengertian Pola Pendidikan dalam Keluarga.
Pola adalah suatu rangkaian unsur-unsur yang sudah mantap mengenai
suatu gejala dan dapat dipakai sebagai contoh dalam hal menggambarkan atau
mendiskripsikan gejala itu sendiri (Ariyono Suyono, 1976:327).
Pola adalah suatu wujud, tipe, sifat yang dikenakan seseorang oleh
orang yang lebih dewasa secara sadar atau tidak sadar terlaksana secara
bertahap, artinya merupakan suatu proses, mengharapkan hasil yang
positif, maka dapat dikatakan adanya suatu proses yaitu proses pendidikan.
Pola pendidikan yang diterapkan orang tua kepada anak sudah
tentu berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan ini nantinya akan
mempengaruhi perkembangan anak itu sendiri. Secara garis besar dapat
dijelaskan bahwa perbedaan dalam pola pendidikan dapat terjadi karena
setiap orang tua memiliki sikap dan nilai-nilai yang berbeda dan akan
mempengaruhi mereka dalam menghadapi anak.
Pendidikan anak didalam keluarga adalah suatu wujud, tipe, sifat
yang disampaikan oleh anggota keluarga yang lebih dewasa (orang tua)
kepada anak untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Pendidikan anak
xxviii
dalam keluarga merupakan pendidikan informal, dalam pelaksanaannya
tergantung dari pengalaman orang tua atau pendapat orang tua masingmasing.
Menurut Yaumil Agoes Athir (1994:11) orang tua hendaknya
memperhatikan dan menyesuaikan dengan peranan dan fungsinya yaitu :
a. Sebagai tokoh yang ditiru anak, maka pola pendiikan yang berisi
pemberian teladan.
b. Sebagai tokoh yang mendorong anak, maka pola pendidikanya adalah
pemberian kemandirian kepada anak, motivasi untuk berusaha dan
mencoba bangkit kembali bila mana mengalami kegagalan.
c. Sebagai tokoh mengawasi, dalam hal ini maka pola pendidikannya
adalah berisi pengendalian, pengarahan pendisiplinan, ketaatan,
kejujuran, orang tua perlu memberitahu apa yang boleh atau tidak
boleh dilakukan anak.
Ditarik kesimpulan bahwa pola pendidikan anak didalam keluarga
dapat ditandai oleh interaksi terus menerus antara orang tua dengan anaknya,
yang interaksi ini ditujukan agar anak dapat dididik hingga mencapai tumbuh
kembang secara sempurna.
Pola Pendidikan Anak dalam Keluarga.
Menurut Singgih D. Gunarso (1986:116-117) mengemukakan 3 (tiga)
pola pendidikan yang digunakan oleh para orang tua dalam mendidik anakanaknya
adalah sebagai berikut :
xxix
a. Pola Pendidikan Otoriter.
Yaitu pola pendidikan dimana anak harus mengikuti pendapat dan
keinginan orang tua, kekuasaan dipilih orang tua. Anak tidak diperkenankan
memberikan pendapat kepada orang tua. Orang tua cenderung bersikap kaku,
suka memaksakan kehendak, selalu mengatur tanpa memperhatikan
kemauan dan perasaan anak, menghukum bila anak bertindak tidak sesuai
dengan kehendaknya dan kurang adanya komunikasi dengan anak.
b. Pola Pendidikan Demokratis.
Cara ini anak diberi kesempatan yang luas untuk mendiskusikan
segala permasalahan dengan orang tua dan orang tua mendengarkan keluhan
dan memberikan pandangan atau pendapat serta orang tua menghargai
pendapat anak-anak. Orang tua selalu memperhatikan perkembangan, saling
terbuka dan mau mendengarkan saran dan kritik dari anak.
c. Pola Pendidikan Permisif.
Yaitu pola pendidikan orang tua yang memberikan kebebasan penuh
pada anak tanpa dituntut kewajiban dan tanggung jawab. Orang tua kurang
kontrol terhadap perilaku anak, kurang membimbing dan mengarahkan anak
serta kurang komunikasi dengan anak.
Sedangkan Sutari (1984 : 123-125) menggolongkan pola pendidikan
anak dalam keluarga dibedakan menjadi 3, yaitu:
a. Pola Pendidikan Otoriter
Dalam pola pendidikan ini pemegang peranan adalah orang tua
karena semua kekuasaan dan keaktifan anak ditentukan oleh orang tua.
xxx
Anak sama sekali tidak mempunyai hak untuk mengemukakan
pendapat misal memilih sekolah, anak dianggap sebagai anak kecil,
anak tidak pernah mendapat perhatian yang layak.
Sifat anak dalam keluarga ini yaitu kurang inisiatif, gugup, raguragu,
suka membangkang, menantang kewibawaan orang tua, penakut
dan penurut.
b. Pola Pendidikan Demokrasi
Pola pendidikan ini memandang anak sebagai individu yang
berkembang sebab itu perlu adanya kewibawaan yang memimpinnya
(orang tua). Pola pendidikan ini disesuaikan dengan taraf
perkembangan anak dengan cita-citanya, minatnya, kecakapankecakapan
dan pengalamannya. Anak dilibatkan ditempat semestinya
yang mempunyai kebebasan untuk berinisiatif dan aktif. Disamping
itu orang tua memberikan pertimbangan dan pendapat kepada anak
sehingga anak mempunyai sifat terbuka, anak dapat dipimpin dan
memimpin dengan penuh kreatif dan aktif.
Sifat anak dalam keluarga ini yaitu anak aktif didalam hidupnya,
penuh inisiatif, percaya diri, penuh tanggung jawab, menerima kritik
dengan terbuka, emosi lebih stabil dan mudah menyesuaikan diri.
c. Pola Pendidikan Permisif
Dalam pendidikan ini orang tua kurang tegas, anak menentukan
sendiri apa yang dikehendaki. Orang tua memberi kebebasan kepada
anaknya, orang tua tidak mempunyai fungsi sebagai pimpinan yang
xxxi
mempunyai kewibawaan dan suasana keluarga bebas. Dalam keluarga
ini anak merasa tidak ada pegangan tertentu dan norma-norma yang di
anut, sehingga bertindak atas kemauan sendiri dan tidak menghargai
orang lain sehingga selalu mementingkan diri sendiri.
Sifat anak dalam keluarga ini yaitu agresif, tidak dapat bekerja
sama dengan orang lain, emosi kurang stabil dan selalu mengalami
kegagalan karena tidak ada bimbingan.
Pola Sosialisasi Pendidikan Anak dalam Keluarga.
Menurut David A Gozali (dalam Diniarti F Soe’oed, 1990 : 30)
sosialisasi adalah proses belajar yang dialami seseorang untuk memperoleh
pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai dan norma-norma agar ia dapat
berpartisipasi sebagai anggota kelompok dalam masyarakat. Seseorang dapat
dikatakan sebagai makhluk sosial apabila ia mampu mensosialisasikan dirinya
baik di lingkungan keluarga maupun dimasyarakat. Menurut Varderzande
(dalam Diniarti F Soe’oed, 1990 : 30) sosialisasi merupakan proses sosial
untuk mempelajari cara-cara berfikir, berperasaan dan berperilaku sehingga
dapat berperan serta secara efektif dalam masyarakat.
Dalam suatu keluarga peran ibu, bapak, nenek, kakek, paman, bibi
begitu besar dalam membentuk suatu corak tersendiri yang khas dalam proses
sosialisasi. Bagi anak yang berada dalam lingkungan masyarakat yang
sederhana, keluarga merupakan sumber pengetahuan utam baginya (Rohidi,
1994 : 17).
xxxii
Sosialisasi dapat dilihat sebagai mekanisme hubungan kontrol
sosial mengenai prilaku anak-anak dalam satu kesatuan sosial. Proses
sosialisasi dalam keluarga, anak akan menangkap dan menyadap bentuk
pandangan hidup orang tua sebagai nilai-nilai.
Konsep sosialisasi pendidikan anak dalam keluarga dibagi menjadi
tiga teori antara lain:
Teori Sosialisasi Pasif.
Menurut Persons (dalam Robinson, 1986 : 58 – 61) berpendapat
bahwa sosialisasi seperti belajar, berlangsung terus sepanjang hidup. Un
sur-unsur kepribadian anak diperoleh dengan belajar, struktur kepribadian
dasar (Basic Personality Structure) adalah inti dari pola orientasi nilai
yang digariskan dalam masa anak-anak dan tidak mudah diubah secara
drastis dalam masa hidup dewasa. Sosialisasi dalam kerangka hubungan
fungsional yang terus menerus diarahkan untuk mencapai tujuan. Individu
harus berusaha menyesuaikan diri yaitu mempertahankan pola kemudian
mengintegrasikan perilaku baru itu dalam struktur kepribadian yang baru
tumbuh.
Pada teori pasif digunakan asumsi bahwa sianak hanya sekedar
memberi rerspons kepada rangsangan-rangsangan orang tua dan dengan
demikian mengabaikan kemungkinan bahwa sianak itu (bisa saja)
mengalami beberapa konflik dalam dirinya. Dalam model Persons adanya
suatu struktur kepribadian dasar yang sekali diletakkan pada masa anakanak
bersifat relatif statis selama hidup.
xxxiii
Sosialisasi adalah sesuatu yang terjadi pada manusia, nilai-nilai
diinternalisasikan, perilaku diubah sementara anak memberi respons
kepada tekanan-tekanan terhadap dirinya : Anak tidak diberi kesempatan
untuk menciptakan dunianya sendiri, demikian pula pengaruh anak
terhadap tindakan orang tua.
Teori Sosialisasi Aktif.
Sosialisasi aktif menurut pendapat Blume (dalam Robinson, 1986 :
66–67) adalah tindakan yang dibangun dalam usaha mengatasi kesulitankesulitan
dan tidak sekedar dilepaskan dari suatu struktur psikologis yang
ada sebelumnya oleh faktor-faktor yang mempengaruhi struktur itu.
Dalam teori aktif individu mempunyai kebebasan untuk berbuat sesukanya
dan mengabaikan kekuasaan yang ada pada sementara orang untuk
mengekang kegiatan orang-orang lain. Mead berpendapat bahwa individu
merupakan makhluk sosial dan hanya dibentuk dalam interaksi dengan
orang-orang lain.
Berger dan Lucmann (dalam Robinson, 1986 : 67) berpendapat
bahwa kita dilahirkan dalam suatu struktur sosial yang objektif, suatu
jaringan hubungan-hubungan yang sudah ada sebelum kita lahir dan
disana kita berkenalan dengan orang-orang lain yang signifikan (punya
arti bagi kita), yakni orang tua yang akan bertugas mensosialisasikan kita.
Teori sosialisasi aktif dan pasif dalam proses belajar sering banyak
dijumpai dalam keluarga seperti bagaimana keluarga mempertahankan
xxxiv
pola perilaku yang selama ini dihayati dan bagaimana dengan pola
perilaku yang mengandung situasi baru.
Teori Sosialisasi Radikal.
Teori sosialisasi radikal dipandang sebagai teori sosialisasi yang
penting untuk dipelajari dimana sosialisasi berlangsung dalam suatu
masyarakat yang berlapis-lapis. Latar belakang proses anak-anak menjadi
dewasa merupakan bagian integrasi dari proses pembentukan kelas.
Menurut pandangan Clarke (dalam Robinson, 1986 : 70) berpendapat
bahwa sosialisasi adalah sosialisasi kelas. Dimana kaum muda atau anak
mewarisi dari orang tua mereka suatu orientasi kultural terhadap masalah
umum kelas yang mungkin akan menimbang, membentuk dan
menunjukkan makna-makna yang kemudian akan diterapkan pada
berbagai bidang kehidupan sosial mereka.
Keluarga
Pengertian Keluarga.
Menurut Ki Hajar Dewantara (dalam Abu Ahmadi, 2004 : 96)
keluarga adalah kumpulan beberapa orang yang terikat oleh satu turunan
lalu mengerti dan merasa berdiri sebagai satu gabungan yang hakiki,
esensial, dan berkehendak bersama-sama memperteguh gabungan itu
untuk memuliakan masing-masing anggotanya.
Keluarga merupakan persekutuan hidup primer dan alami
diantara seorang wanita dengan seorang pria yang diikat dengan tali
xxxv
perkawinan dan cinta kasih. Diantara makhluk yang bersekutu ini terdapat
unsur hakiki yang sama yaitu : cinta kasih, ketergantungan, saling
membutuhkan dan saling melengkapi. Mereka saling memberi, ngemong,
meminta, memberi pengorbanan, punya loyalitas atau kesetiaan, dan
saling melengkapi sesuai dengan kodratnya masing-masing. Dengan
lahirnya anak, ikatan perkawinan pada umumnya semkin kokoh, erat
terpatri, sebab anak merupakan andalan atau jaminan berpautnya cinta
kasih yang timbal balik. Lagi pula ketidak berdayaan bayi dan anak
membangkitkan imbauan pada kedua orang tuanya untuk bersama
memelihara, merawat, membesarkan, mengasuh dan mendidik anak-anak
dengan rasa tanggung jawab (Kartini, 1997:59).
Menurut Soelaeman (dalam Moch Shochib, 1998 : 17)
menyatakan bahwa dalam pengertian psikologis, keluarga adalah
sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal bersama dan
masing-masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga
terjadi saling mempengaruhi, saling memperhatikan, dan saling
menyerahkan diri, sedangkan dalam pengertian paedagogis, keluarga
adalah “ satu “ persekutuan hidup yang dijalin oleh kasih sayang antara
pasangan dua jenis manusia yang dikukuhkan dengan pernikahan, yang
bermaksud untuk saling menyempurnakan diri. Dalam usaha saling
melengkapi dan saling menyempurnakan diri itu terkandung perealisasian
dan fungsi sebagai orang tua.
Fungsi Keluarga.
xxxvi
Dalam kehidupan keluarga suatu pekerjaan atau tugas yang
harus dilakukan itu biasa disebut fungsi. Pekerjaan yang harus dilakukan
oleh keluarga itu dapat digolongkan kedalam beberapa fungsi :
a. Fungsi Biologis
Keluarga diharapkan dapat menyelenggarakan persiapanpersiapan
perkawinan bagi anaknya. Persiapan perkawinan yang perlu
dilakukan oleh orang tua bagi anak-anaknya sejak anak menginjak
kedewasaan dapat berupa pengetahuan tentang kehidupan suami-isteri,
mengatur rumah tangga bagi sang isteri, tugas dan kewajiban sang
suami, memelihara pendidikan bagi anak-anak (Abu Ahmadi, 2003 :
89).
b. Fungsi Pemeliharaan
Keluarga diwajibkan untuk berusaha agar setiap anggotanya
dapat terlindung dari gangguan-gangguan sebagai berikut : gangguan
udara dengan menyediakan rumah, gangguan penyakit dengan
berusaha menyediakan obat-obatan, gangguan bahaya. Bila dalam
keluarga fungsi ini telah dijalankan dengan sebaik-baiknya sudah tentu
membantu terpeliharanya keamanan dalam masyarakat (Abu Ahmadi,
2003 : 90).
c. Fungsi Ekonomi
Keluarga berusaha menyelenggarakan kebutuhan pokok yaitu :
kebutuhan akan makan dan minum, kebutuhan pakaian untuk menutup
tubuhnya, serta kebutuhan tempat tinggal. Dalam keluarga juga
xxxvii
berusaha melengkapi kebutuhan jasmani dimana keluarga (orang tua)
diwajibkan berusaha mendapatkan perlengkapan jasmani baik yang
bersifat unum maupum individual. Perlengkapan jasmani yang bersifat
umum misalkan kursi, tempat tidur, lampu dan sebagainya, sedangkan
yang bersifat individual misalkan alat-alat sekolah, pakaian,
permainan bagi anak-anak. Permainan merupakan sebagai nilai
mengembangkan daya cipta disamping nilai rekreasi (Abu Ahmadi,
2003 : 90).
d. Fungsi Keagamaan
Di Negara Indonesia yang berideologi Pancasila berkewajiban
pada setiap warganya untuk menghayati, mendalami damn
mengamalkan Pancasila didalam perilaku dan kehidupan keluarganya.
Dengan dasar pedoman ini keluarga diwajibkan untuk menjalani dan
mendalami serta mengamalkan ajaran-ajaran agama dalam pelakunya
sebagai manusia yang taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Abu
Ahmadi, 2003 : 90-91).
e. Fungsi sosial
Dalam fungsi ini keluarga memperkenalkan nilai-nilai dan
sikap-sikap yang dianut oleh masyarakat serta mempelajari perananperanan
yang diharapkan akan mereka jalankan kelak bila sudah
dewasa. Generasi tua dalam keluarga yaitu ayah, ibu mewariskan
sopan santun, bahasa, cara bertingkah laku, ukuran tentang baik dan
buruknya perbuatan dan nilai-nilai (Abu Ahmadi, 2003 : 91).
xxxviii
Kemiskinan
Pengertian Kemiskinan.
Dalam kehidupan sehari-hari dimasyarakat yang tergolong
miskin, kemiskinan adalah sesuatu yang nyata adanya, karena mereka
sendiri yang merasakan dan menjalani kehidupan dalam kemiskinan
tersebut. Kemiskinan akan lebih terasa lagi apabila mereka telah
membandingkan dengan hidup orang lain yang lebih tinggi tingkat
kehidupannya. Selanjutnya kemiskinan dilukiskan sebagai kurangnya
pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok, seperti
pangan, sandang, papan sebagai tempat berteduh.
Menurut Emil Salim (dalam Abu Ahmadi, 2003 : 326)
menyatakan bahwa mereka berada dibawah garis kemiskinan apabila
pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling
pokok, seperti pangan, pakaian, tempat berteduh dan lain-lain. Sedangkan
menurut Suparlan (dalam Abu Ahmadi, 2003 : 326) menyatakan

peran orang tua

Peran orang tua mempunyai posisi penting terhadap pembentukan anak,
seperti pembentukan karakter, sikap, pengetahuan, penalaran dan sebagainya.
Keluarga sebagai ajang sosialisasi dan mempunyai kedudukan multifungsional
sehingga proses pendidikan keluarga sangat berpengaruh bagi anak. Setiap
interaksi dengan anak merupakan kesempatan untuk menanamkan nilai-nilai
terutama nilai agama karena nilai agama ini merupakan dasar bagi anak dalam
bersikap untuk menjalani kehidupannya dimasa yang akan datang. Permasalahan
dalam penelitian ini adalah bagaimana peran orang tua dalam menanamkan nilainilai
keagamaan kepada anak usia dini dalam keluarga.
Tujuannya penelitian ini adalah untuk mengungkap data mengenai nilai-nilai
keagamaan yang ditanamkan orang tua kepada anak usia dini dalam keluarga,
Untuk mengungkapkan data mengenai cara atau strategi orang tua dalam
menanamkan nilai-nilai keagamaan kepada anak usia dini. Untuk mengungkapkan
data mengenai hambatan-hambatan yang dihadapi orang tua dalam menanamkan
nilai-nilai keagamaan kepada anak usia dini dalam keluarga.
Landasan teori dalam penelitian ini mengacu pada konsep pendidikan
keluarga, pendidikan anak usia dini dan nilai-nilai keagamaan.
Medidapatkan kesimpulan sebagai berikut: Keluarga
merupakan wahana yang pertama untuk seorang anak dalam memperoleh
keyakinan agama, nilai, moral, pengetahuan dan keterampilan, yang dapat
dijadikan patokan bagi anak dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Pengalaman-pengalaman yang diberikan orang tua kepada anak akan membekas
dalam diri anak sehingga akan menjadi salah satu faktor pembentukan
kepribadian. Nilai-nilai keagamaan yang ditanamkan dalam keluarga yaitu
mengenai ketauhidan, ahlak serta cara-cara hidup yang baik dan cara-cara
beribadah. Cara atau strategi orang tua dalam menanamkan nila-nilai keagamaan
kepada anak usia dini dalam keluarga yaitu dengan berbagai strategi, metode dan
penggunaan media yang menunjang seperti strategi tradisional, Strategi bebas,
Strategi Reflektif, dan Strategi Transinternal. Metode yang dipergunakannya yaitu
metode pembiasaan, nasehat, pengawasan, sanksi dan keteladanan. Hambatanhambatan
yang ditemui orang tua dalam penanaman nilai-nilai keagamaan kepada
anak usia dini yaitu menyangkut faktor internal dan eksternal dalam keluarga itu
sendiri. Seperti kemampuan dalam mendidik anak, kurangnya komunikasi antara
orang tua dan anak, sarana serta lingkungan baik lingkungan keluarga maupun
lingkungan sosial.